open your mind for a new knowledge

Selasa, 11 November 2014

Posted by Litha in | 17.44 No comments
Peran Pendidikan Terhadap Anak Penyandang Disabilitas

     Pendidikan merupakan hal yang penting bagi seluruh anak karena dengan pendidikan martabat seorang anak akan diakui di masyarakat. Anak disabilitas (Difabel) selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena terlahir dengan sebuah kekurangan. Masyarakat juga menilai anak difabel tidak perlu mendapatkan pendidikan. Menurut mereka, sia-sia saja anak difabel belajar di sekolah. Namun, hal ini tidak menurunkan semangat anak difabel untuk sekolah dengan didirikannya sekolah luar biasa (SLB) oleh pemerintah. Pada kenyataannya, banyak prestasi-prestasi yang diukir dari anak difabel di kancah nasional maupun internasional.

Pengertian Pendidikan
    Definisi pendidikan. Menurut Sugihartono (dikutip dalam Irham dan Wiyani, 2013, h.19) mengatakan bahwa “Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh pendidik untuk mengubah tingkah laku manusia, baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia tersebut melalui proses pengajaran dan pelatihan.” Selanjutnya, menurut UUR.I.No. 2 Tahun 1989, Bab I, Pasal 1 (dikutip dalam Hamalik, 2007, h. 2) mengatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha dasar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.” Sedangkan, menurut Sri Rukmini dkk. (dikutip dalam Irham dan Wiyani, 2013, h. 19) mengatakan bahwa “Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha dasar, sengaja, dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap anak didiknya untuk mencapai tujuan ke arah yang lebih maju.”
     Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha dasar pendewasaan diri dengan mendisiplinkan tingkah laku dan rasa tanggung jawab dengan pemikiran yang rasional.

Pengertian Disabilitas
    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Disabilitas atau difabel adalah penyandang cacat (KBBI, 2008). Sedangkan, menurut Penguin Dictionary of Psychology (2009) disability is “Generally, any lack of ability to perform some fuction more specifically, a cogenital impairment or loss of fuction through trauma, disaese, etc”.

Pengertian Anak
     Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Anak adalah generasi kedua atau keturunan pertama (KBBI, 2008). Sedangkan, menurut American Psychology Association (APA, 2007) child is “A young boy or girl between infancy and adolescence”.

Anak Penyandang Disabilitas (Difabel)
     Pada umumnya, penyandang disabilitas (Difabel) atau lebih dikenal dengan sebutan penyandang cacat memiliki gambaran yang buruk di mata masyarakat. Anak penyandang disabilitas sama seperti anak normal lainnya yang memiliki hak untuk diperlakukan secara adil dan derajat yang sama. Namun, masyarakat selalu menganggap anak difabel sebagai anak yang terlahir untuk meminta belas kasih dari orang lain dan beban bagi keluarganya. Dalam hal ini, pemerintah sudah memberi respon positif kepada anak penyandang disabilitas (Septianingsih & Gusniarti, 2014).
      Pemerintah juga memberikan fasilitas dari segi pendidikan dengan membuat sekolah khusus anak penyandang disabilitas. Pada awalnya, anak difabel tidak bisa menerima kekurangan pada dirinya. Pada hakikatnya, dibutuhkan suatu proses untuk penyesuaian diri dengan kenyataan yang ada (Septianingsih & Gusniarti, 2014).
      Setelah terjadi penyesuaian, anak difabel akan berpendapat bahwa dunia ini adil dan berasumsi mereka layak berada di dunia ini serta layak mendapatkan apa yang mereka inginkan, termasuk pendidikan di sekolah (Mercer & Clayton, 2012).

Pemilihan Sekolah
     Pendidikan sangat penting bagi semua kalangan, termasuk bagi anak difabel. Di Indonesia, pemerintah telah mendirikan beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) hampir diberbagai provinsi untuk menyamaratakan hak mendapatkan pendidikan. Sekolah ini didirikan oleh pemerintah untuk memfasilitasi penyandang difabel dalam mengembangkan kemampuannya dan memberi pengakuan positif terhadap keberadaannya. Namun, sedikit sekali orangtua yang mengingikan anaknya bersekolah di sana (Wasito, Sarwindah, & Sulistiani, 2010). Pendidikan di SLB tidak sama dengan pendidikan normal karena kelainan pada setiap anak yang beragam dan tingkat usia yang berbeda. Perbedaan cara pengajaran pun sangat jauh karena anak difabel harus diajakan secara face to face (Monika & Waruwu, 2006). 
    SLB sendiri menyediakan guru pembimbing khusus, sarana, dan prasarana khusus bagi seluruh penyandang difabel. Mulai dari buku braile dan alat pendengar. Fasilitas seperti ruang kelas yang kondusif bagi para penyandang difabel dan kurikulum yang telah dibuat oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan para penyandang difabel. Namun, banyak juga penyandang difabel yang lebih memilih sekolah di sekolah umum sama seperti anak normal lainnya. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 2/U/1986 telah menyatakan anak cacat bisa ke sekolah umum, apabila siswa tersebut memiliki inteligensi normal (Wasito, Sarwindah, & Sulistiani, 2010).
     Banyaknya anak difabel yang ingin bersekolah di sekolah umum memunculkan sebuah konsep pendidikan baru, yaitu pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif ini dibuat agar anak difabel dapat bersekolah di sekolah umum yang terdekat serta dapat berinteraksi dengan anak-anak normal. Di setiap sekolah umum harus memiliki beberapa guru yang dapat mengajarkan pelajaran kepada anak difabel. Namun, terlalu minimnya fasilitas dan tenaga pengajar yang memiliki pengetahuan tentang disabilitas membuat anak difabel terbengkalai (Praptiningrum, 2010).
      Pada prinsipnya, sistem pendidikan inklusif di sekolah umum sangat bagus untuk menyamakan anak difabel dengan anak normal sehingga terjalin sosialisasi dan interaksi di antara mereka jika sistem ini berjalan dengan baik (Praptiningrum, 2010). Berdasarkan penelitian hanya sedikit sekolah umum yang melaksanakan sistem ini, SDN 32 Banda Aceh adalah salah satu sekolah yang berminat menerapkan sistem ini (Wati, 2014).
    
Peran Sekolah Terhadap Anak Disabilitas
     Peran sekolah sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial, salah satunya bagi penyandang difabel. Peranan sekolah sebenarnya untuk membentuk sikap-sikap serta kebiasaan yang wajar dan merangsang potensi yang ada dalam diri (Ahmadi, 1999). Peranan sekolah bagi difabel untuk mengasah potensi dalam diri mereka dengan baik. Peranan guru di sekolah juga penting karena seorang guru akan memotivasi anak difabel untuk terus belajar. Selanjutnya, guru memberikan apresiasi dari segala bentuk hasil pembelajaran dari anak difabel dengan senyuman atau kata-kata yang menjadi motivasi bagi mereka (Humaira, 2012).

Simpulan
     Anak difabel merupakan anugrah dari Tuhan yang harus di syukuri oleh orangtua masing-masing. Anak difabel bukanlah hal yang buruk hanya saja mereka memiliki satu potensi yang menonjol di bidang tertentu. Dengan mendapatkan pendidikan, anak difabel mampu mengembangkan potensi tersebut. Di mana pun seorang anak difabel bersekolah, di SLB maupun di sekolah umum yang menerapkan sistem pendidikan inklusif adalah sama.
     Motivasi yang diberikan oleh guru di sekolah juga memberikan pengaruh terhadap anak difabel untuk memacu mereka dalam mengapai cita-cita. Dari motivasi tersebut, banyak anak difabel yang mengukir prestasi dalam bidang tertentu. Secara tidak langsung anak difabel telah membuktikan walaupun mereka memiliki kekurangan, tetapi tidak menghalangi mereka untuk berprestasi. Orangtua juga merasa bangga atas prestasi yang diukir dan tidak merasa malu memperkenalkan anaknya di dalam masyarakat.
Daftar Pustaka

Ahmadi, A. (1999). Psikologi Sosial: Peran sekolah terhadap perkembangan sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, O. (2007). Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Humaira, D. (2012). Pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia bagi tunagrahita ringan kelas III di SLB sabiluna Pariaman. Pendidikan khusus 1(3), 106-107. Diunduh dari http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CB0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fejournal.unp.ac.id%2Findex.php%2Fjupekhu%2Farticle%2Fdownload%2F766%2F634&ei=HShgVP_vDcOhuQTc5IHQCg&usg=AFQjCNHuXSfAttTC8DHkUa1KBob2H8zExA&bvm=bv.79189006,d.c2
Irham, M., & Wiyani, N. A. (2013). Psikologi pendidikan: Teori dan aplikasi dalam proses pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Monika, & Waruwu, F. E. (2006). Anak berkebutuhan khusus: Bagaimana mengenal dan menanganinya. Provite 2(2), 16-17.
Reber, A. S., Allen, R., & Reber, E. S. (2009). Penguin dictionary of psychology (4th ed.). England, UK: Penguin Reference Dictionary.
Septianingsih, E., & Gusniarti, U. (2014). Aku berkarya: Studi kasus ketahanan bating pada difabel yang berwirausaha. Psikologika: Jurnal pemikiran dan penelitian psikologi, 19(2), 156-166.
Sugono, D. (Editor). (2008). Kamus besar bahasa Indonesia pusat bahasa (edisi ke-4). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
VandenBos, G. R. (Ed.). (2007). APA dictionary of psychology (1st ed.). Washington DC, NY: American Psychology Association.
Wasito, D. R., Sarwindah, D., & Suliastiani, W. (2010). Penyesuaian sosial remaja tuna rungu yang bersekolah di sekolah umum. Insan: Media psikologi, 12(3), 138-143.

Kamis, 06 November 2014

Posted by Litha in | 16.35 2 comments


Pengaruh Keluarga Broken Home Terhadap Anak

Pengertian Keluarga
     Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Keluarga adalah bagian dari masyarakat besar yang terdiri dari ibu bapak dan anak-anaknya (KBBI, 2013).  
     Menurut Murdock. Murdock dikutip dalam Lestari (2012, h. 6) menguraikan bahwa “Keluarga kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi”.
     Menurut Reiss. Reiss dikutip dalam Lestari (2012, h. 6) mengatakan bahwa “Keluarga suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru”.

Pengertian Anak
     Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Anak adalah keturunan yang kedua (KBBI, 2013). “Anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas” (“Anak,” 2014).

Pengertian Broken Home
     Menurut Matinka (2011, h. 6) Broken home adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suasana keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalannya kondisi keluarga yang rukun dan sejahtera yang menyebabkan terjadinya konflik dan perpecahan dalam keluarga tersebut”.

Penyebab Broken Home
     Penyebab utama. Setiap keluarga selalu mendambakan sebuah keluarga yang utuh dan harmonis, jauh dari pertengkaran atau perpecahan. Namun, setiap keluarga memiliki masalah dan masalah itu tidak datang begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebabnya.
     Penyebab utama terjadinya broken home, yaitu: (a) perceraian, terjadi akibat disorientasi antara suami istri dalam membangun rumah tangga; (b) kebudayaan bisu, ketika tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga; (c) ketidakdewasaan sikap orangtua, karena orangtua  hanya memikirkan diri mereka daripada anak; dan (d) orangtua yang kurang rasa tanggung jawab dengan alasan kesibukan bekerja. Mereka hanya terfokus  pada materi yang akan didapat dibandingkan dengan melaksanakan tanggung jawab di dalam keluarga (“Kehidupan Anak Broken Home,” 2012).
     Penyebab tambahan. Penyebab tambahan yang memicu terjadinya broken home, yaitu: (a) perang dingin dalam keluarga, karena adanya perselisihan atau rasa benci; (b) kurang mendekatkan diri pada Tuhan, yang membuat orangtua tidak dapat mendidik anaknya dari segi keagamaan; (c) masalah ekonomi, yang tidak jarang menjadi sebab pertengkaran maupun berakhir dengan perceraian;  dan (d) masalah pendidikan, kurangnya pengetahuan suami ataupun istri terhadap keluarga mereka sendiri (“Kehidupan Anak Broken Home,” 2012).

Dampak Broken Home Pada Anak
     Dampak psikologis. Setiap keluarga yang mengalami broken home biasanya akan berdampak anak-anaknya. Orangtua tidak pernah memikirkan konskuensi dari tindakan yang mereka lakukan. Dampak paling utama yang akan melekat sampai anak tersebut dewasa adalah dampak psikologis. Seorang anak dapat berkembang dengan baik jika kebutuhan psikologisnya juga baik.  
      Secara umum anak yang mengalami broken home memiliki (a) ketakutan yang berlebihan, (b) tidak mau berinteraksi dengan sesama, (c) menutup diri dari lingkungan, (d) emosional, (e) sensitif, (f) temperamen tinggi, dan (g) labil. Sebenarnya, dampak psikologis yang diterima seorang anak berbeda-beda tergantung usia atau tingkatan perkembangan anak (Nurmalasari, 2008).
     Dampak bagi prestasi anak. Akibat dari broken home juga mempengaruhi prestasi anak tersebut. Anak broken home cenderung menjadi malas dan tidak memiliki motivasi untuk belajar. Berdasarkan sampel penelitian pada siswa kelas dua SMP Negeri Baleendah 2 Kabupaten Bandung dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan motivasi belajar antara siswa berasal dari keluarga broken home dengan motivasi belajar siswa dari keluarga utuh, motivasi belajar siswa dari keluarga broken home lebih rendah daripada motivasi belajar siswa dari keluarga utuh, keadaan keluarga broken home memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap motivasi belajar siswa (Broto, 2009).
     Dampak bagi perilaku remaja. Remaja broken home yang kurang perhatian membuat self esteem dan self confident rendah sehingga anak cenderung mencari perhatian dari lingkungan. Biasanya dengan memberontak, melakukan bullying, dan bersikap derduktif terhadap lingkungan, seperti merokok, free sex, dan minum minuman keras (Nurmalasari, 2008).

Cara Mengatasi Broken Home
     Tidak semua orang berpandangan bahwa broken home adalah hal yang negatif. Ada yang berpikir bahwa broken home adalah jalan yang terbaik bagi keluarganya. Ada beberapa cara untuk meminimalisir atau mengatasi broken home, antara lain (a) mendekatkan diri kepada Tuhan, (b) berpikir dan berperilaku positif, (c) saling berbagi, dan (d) mencari kegiatan positif (“Broken Home dan Cara Mengatasinya,” 2013).

Simpulan
     Tanpa disadari orangtua, broken home secara tidak langsung memberikan dampak yang signifikan kepada anak-anaknya. Sangat jarang ada orangtua yang memikirkan konsekuensi dari keputusan tersebut. Dari beberapa dampak yang ditimbulkan, dampak psikologis adalah yang paling melekat. Walaupun begitu, sebenarnya tersedia cara untuk mengatasi broken home. Cara tersebut akan efektif bagi setiap keluarga yang mendambakan keluarga utuh dan harmonis.


Daftar Pustaka

Anak. (2014, 6 November). Diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Anak

Broken home dan cara mengatasinya. (2014, 3 November). Diunduh dari http://gubukhukum.blogspot.com/2012/12/broken-home-dan-cara-mengatasinya.html

Broto, A. (2009). Pengaruh broken home. Diunduh dari http://bbawor.blogspot.com/2009/03/pengaruh-broken-home.html


Keluarga broken home dan hubungannya dengan perkembangan anak. (2014, 3 November). Diunduh dari http://ikhaidfi.blogspot.com/2013/06/keluarga-brokenhome-dan-hubungannya_16.html


Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga: Penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga (edisi ke-1). Jakarta: Kencana.


Mantika, D. (2011, November). Pengaruh keluarga broken home terhadap pendidikan remaja Universitas Singaperbangsa, Karawang, INA. Diunduh dari http://www.slideshare.net/dianmantikha/makalah-filsafat-pendidikan-ian


Kehidupan anak broken home. (2014, 3 November). Diunduh dari http://neng-noey.blogspot.com/2012/05/kehidupan-anak-broken-home.html


Nurmalasari, Y. (2008). Broken home: Dampak dan solusi. Diunduh dari http://ddistrictofnaya.blogspot.com/2010/11/brokenhome-dampak-dan-solusi.html


Pustaka Phoenix. (2013). Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ke-7). Jakarta: Penulis.


 

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter