Peran Pendidikan Terhadap Anak Penyandang
Disabilitas
Pendidikan
merupakan hal yang penting bagi seluruh anak karena dengan pendidikan martabat
seorang anak akan diakui di masyarakat. Anak disabilitas (Difabel) selalu
dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena terlahir dengan sebuah
kekurangan. Masyarakat juga menilai anak difabel tidak perlu mendapatkan
pendidikan. Menurut mereka, sia-sia saja anak difabel belajar di sekolah.
Namun, hal ini tidak menurunkan semangat anak difabel untuk sekolah dengan
didirikannya sekolah luar biasa (SLB) oleh pemerintah. Pada kenyataannya,
banyak prestasi-prestasi yang diukir dari anak difabel di kancah nasional
maupun internasional.
Pengertian Pendidikan
Definisi
pendidikan. Menurut Sugihartono (dikutip dalam Irham dan Wiyani, 2013,
h.19) mengatakan bahwa “Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana yang
dilakukan oleh pendidik untuk mengubah tingkah laku manusia, baik secara
individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia tersebut melalui proses pengajaran
dan pelatihan.” Selanjutnya, menurut UUR.I.No. 2 Tahun 1989, Bab I, Pasal 1 (dikutip
dalam Hamalik, 2007, h. 2) mengatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha dasar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.” Sedangkan, menurut Sri
Rukmini dkk. (dikutip dalam Irham dan Wiyani, 2013, h. 19) mengatakan bahwa
“Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha dasar, sengaja, dan bertanggung
jawab yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap anak didiknya untuk
mencapai tujuan ke arah yang lebih maju.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah usaha dasar pendewasaan diri dengan mendisiplinkan tingkah
laku dan rasa tanggung jawab dengan pemikiran yang rasional.
Pengertian Disabilitas
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Disabilitas atau difabel adalah penyandang
cacat (KBBI, 2008). Sedangkan, menurut Penguin Dictionary of Psychology (2009) disability is “Generally, any lack of
ability to perform some fuction more specifically, a cogenital impairment or
loss of fuction through trauma, disaese, etc”.
Pengertian Anak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Anak adalah generasi kedua atau keturunan pertama (KBBI,
2008). Sedangkan, menurut American Psychology Association (APA, 2007) child is “A young boy or girl between
infancy and adolescence”.
Anak Penyandang Disabilitas (Difabel)
Pada umumnya, penyandang disabilitas
(Difabel) atau lebih dikenal dengan sebutan penyandang cacat memiliki gambaran yang
buruk di mata masyarakat. Anak penyandang disabilitas sama seperti anak normal
lainnya yang memiliki hak untuk diperlakukan secara adil dan derajat yang sama.
Namun, masyarakat selalu menganggap anak difabel sebagai anak yang terlahir
untuk meminta belas kasih dari orang lain dan beban bagi keluarganya. Dalam hal
ini, pemerintah sudah memberi respon positif kepada anak penyandang disabilitas
(Septianingsih & Gusniarti, 2014).
Pemerintah juga memberikan fasilitas dari
segi pendidikan dengan membuat sekolah khusus anak penyandang disabilitas. Pada
awalnya, anak difabel tidak bisa menerima kekurangan pada dirinya. Pada
hakikatnya, dibutuhkan suatu proses untuk penyesuaian diri dengan kenyataan
yang ada (Septianingsih & Gusniarti, 2014).
Setelah terjadi penyesuaian, anak difabel
akan berpendapat bahwa dunia ini adil dan berasumsi mereka layak berada di
dunia ini serta layak mendapatkan apa yang mereka inginkan, termasuk pendidikan
di sekolah (Mercer & Clayton, 2012).
Pemilihan Sekolah
Pendidikan sangat penting bagi semua kalangan,
termasuk bagi anak difabel. Di Indonesia, pemerintah telah mendirikan beberapa
Sekolah Luar Biasa (SLB) hampir diberbagai provinsi untuk menyamaratakan hak
mendapatkan pendidikan. Sekolah ini didirikan oleh pemerintah untuk
memfasilitasi penyandang difabel dalam mengembangkan kemampuannya dan memberi
pengakuan positif terhadap keberadaannya. Namun, sedikit sekali orangtua yang
mengingikan anaknya bersekolah di sana (Wasito, Sarwindah, & Sulistiani,
2010). Pendidikan di SLB tidak sama dengan pendidikan normal karena kelainan
pada setiap anak yang beragam dan tingkat usia yang berbeda. Perbedaan cara
pengajaran pun sangat jauh karena anak difabel harus diajakan secara face to
face (Monika & Waruwu, 2006).
SLB sendiri menyediakan guru pembimbing
khusus, sarana, dan prasarana khusus bagi seluruh penyandang difabel. Mulai
dari buku braile dan alat pendengar. Fasilitas seperti ruang kelas yang
kondusif bagi para penyandang difabel dan kurikulum yang telah dibuat oleh
pemerintah sesuai dengan kebutuhan para penyandang difabel. Namun, banyak juga
penyandang difabel yang lebih memilih sekolah di sekolah umum sama seperti anak
normal lainnya. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 2/U/1986 telah menyatakan anak cacat bisa ke sekolah umum,
apabila siswa tersebut memiliki inteligensi normal (Wasito, Sarwindah, &
Sulistiani, 2010).
Banyaknya anak difabel yang ingin
bersekolah di sekolah umum memunculkan sebuah konsep pendidikan baru, yaitu
pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif ini dibuat agar anak difabel dapat
bersekolah di sekolah umum yang terdekat serta dapat berinteraksi dengan
anak-anak normal. Di setiap sekolah umum harus memiliki beberapa guru yang
dapat mengajarkan pelajaran kepada anak difabel. Namun, terlalu minimnya
fasilitas dan tenaga pengajar yang memiliki pengetahuan tentang disabilitas membuat
anak difabel terbengkalai (Praptiningrum, 2010).
Pada prinsipnya, sistem pendidikan
inklusif di sekolah umum sangat bagus untuk menyamakan anak difabel dengan anak
normal sehingga terjalin sosialisasi dan interaksi di antara mereka jika sistem
ini berjalan dengan baik (Praptiningrum, 2010). Berdasarkan penelitian hanya
sedikit sekolah umum yang melaksanakan sistem ini, SDN 32 Banda Aceh adalah
salah satu sekolah yang berminat menerapkan sistem ini (Wati, 2014).
Peran Sekolah Terhadap Anak
Disabilitas
Peran sekolah sangat berpengaruh terhadap
perkembangan sosial, salah satunya bagi penyandang difabel. Peranan sekolah
sebenarnya untuk membentuk sikap-sikap serta kebiasaan yang wajar dan
merangsang potensi yang ada dalam diri (Ahmadi, 1999). Peranan sekolah bagi
difabel untuk mengasah potensi dalam diri mereka dengan baik. Peranan guru di
sekolah juga penting karena seorang guru akan memotivasi anak difabel untuk
terus belajar. Selanjutnya, guru memberikan apresiasi dari segala bentuk hasil
pembelajaran dari anak difabel dengan senyuman atau kata-kata yang menjadi
motivasi bagi mereka (Humaira, 2012).
Simpulan
Anak difabel merupakan anugrah dari Tuhan
yang harus di syukuri oleh orangtua masing-masing. Anak difabel bukanlah hal
yang buruk hanya saja mereka memiliki satu potensi yang menonjol di bidang
tertentu. Dengan mendapatkan pendidikan, anak difabel mampu mengembangkan
potensi tersebut. Di mana pun seorang anak difabel bersekolah, di SLB maupun di
sekolah umum yang menerapkan sistem pendidikan inklusif adalah sama.
Motivasi yang diberikan oleh guru di
sekolah juga memberikan pengaruh terhadap anak difabel untuk memacu mereka
dalam mengapai cita-cita. Dari motivasi tersebut, banyak anak difabel yang
mengukir prestasi dalam bidang tertentu. Secara tidak langsung anak difabel
telah membuktikan walaupun mereka memiliki kekurangan, tetapi tidak menghalangi
mereka untuk berprestasi. Orangtua juga merasa bangga atas prestasi yang diukir
dan tidak merasa malu memperkenalkan anaknya di dalam masyarakat.
Daftar
Pustaka
Ahmadi, A. (1999). Psikologi Sosial: Peran sekolah terhadap
perkembangan sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, O. (2007). Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta:
Bumi Aksara.
Humaira, D. (2012). Pelaksanaan
pembelajaran bahasa Indonesia bagi tunagrahita ringan kelas III di SLB sabiluna
Pariaman. Pendidikan khusus 1(3), 106-107.
Diunduh dari http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CB0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fejournal.unp.ac.id%2Findex.php%2Fjupekhu%2Farticle%2Fdownload%2F766%2F634&ei=HShgVP_vDcOhuQTc5IHQCg&usg=AFQjCNHuXSfAttTC8DHkUa1KBob2H8zExA&bvm=bv.79189006,d.c2
Irham, M., & Wiyani, N. A. (2013).
Psikologi pendidikan: Teori dan aplikasi
dalam proses pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Monika, & Waruwu, F. E. (2006).
Anak berkebutuhan khusus: Bagaimana mengenal dan menanganinya. Provite 2(2), 16-17.
Praptiningrum, N. (2010). Fenomena
penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus. Pendidikan khusus 7(2), 33-38. Diunduh
dari http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&uact=8&ved=0CEoQFjAF&url=http%3A%2F%2Fjournal.uny.ac.id%2Findex.php%2Fjpk%2Farticle%2Fdownload%2F774%2F601&ei=nK9cVNKNDI3GuATduoCwCg&usg=AFQjCNHowVeQkyaTJPtmOMx9AQdHUJ35zw&bvm=bv.79184187,d.c2E
Reber, A. S., Allen, R., & Reber,
E. S. (2009). Penguin dictionary of
psychology (4th ed.). England, UK: Penguin Reference Dictionary.
Septianingsih, E., & Gusniarti, U.
(2014). Aku berkarya: Studi kasus ketahanan bating pada difabel yang
berwirausaha. Psikologika: Jurnal
pemikiran dan penelitian psikologi, 19(2), 156-166.
Sugono, D. (Editor). (2008). Kamus besar bahasa Indonesia pusat bahasa
(edisi ke-4). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
VandenBos, G. R. (Ed.). (2007). APA dictionary of psychology (1st ed.).
Washington DC, NY: American Psychology Association.
Wasito, D. R., Sarwindah, D., &
Suliastiani, W. (2010). Penyesuaian sosial remaja tuna rungu yang bersekolah di
sekolah umum. Insan: Media psikologi, 12(3),
138-143.
Wati, E. (2014). Manajemen pendidikan
inklusi di sekolah dasar negeri 32 Banda Aceh. Didaktika: Media ilmiah pendidikan dan pengajaran 14(2), 376-377.
Diunduh dari http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=65&cad=rja&uact=8&ved=0CD0QFjAEODw&url=http%3A%2F%2Fpustaka.jurnaldidaktika.org%2Findex.php%2Fjdidaktika%2Farticle%2Fdownload%2F88%2F91&ei=iNBcVPnVA87VuQTW8IHgAQ&usg=AFQjCNFjNXz3uqHs20dVeWb_rkQ3RrZbhg&bvm=bv.79184187,d.c2E
0 komentar:
Posting Komentar